Mempelajari
sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan mempelajari hal
tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu
pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses,
melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan
“Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan
mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad
terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari
dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah
pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya
penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan
tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah
pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau
kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan
kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang
dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam
(internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi
yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional
ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat
dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang
terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah
sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum
Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang
keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia
ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki
substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan
demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur
ontologis. Dalam struktur terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi:
menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap
benda sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai
kesempurnaan lain. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan
tersebut direalisasikan.
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut
Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan
inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan
inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning).
Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti
mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori)
tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada
periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya
perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah
sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisi dan beralih ke elemen-elemen
yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat.
Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan
kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara empiris,
sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu
harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis
dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman
Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17,
ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran,
dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah
dapat dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan
yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum
adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan.
Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes
pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil
pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil
kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh
karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan pengamatan binatang.
Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan
apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran
yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan.
Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping
materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan
pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan
Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Agar
dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu
mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan
unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori,
berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel
Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia
berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau
sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori
(dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengenalan
berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah
pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan
Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain
yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup
mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya
pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumber :http://kangom.blogspot.com/2013/03/perkembangan-ilmu-pengetahuan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar